Judul buku: Drunken Monster
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: DAR! Mizan
Cetakan: I, Januari 2008
II, April 2008
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-979-752-832-4
Akhirnya, saya bisa membaca beberapa buku Pidi Baiq. Dari tulisannya yang nyeleneh dan agak absurd ini tapi di dalamnya tersimpan makna kehidupan yang berharga. Menghargai sesama, berbagi pada sesama yang membutuhkan dengan seninya tersendiri tanpa adanya kesenjangan atau jarak di antaranya. Cenderung gokil berbagi dengan sesama.
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: DAR! Mizan
Cetakan: I, Januari 2008
II, April 2008
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-979-752-832-4
Saya agak termenung lihat cover depannya yang warna warni dan judul bukunya "Drunken Monster". Agak penasaran juga, sebenarnya buku ini bercerita tentang apa ya? Memang saya agak telat abis baca buku ini. Setelah baca karya Pidi Baiq yang lain yang berjudul "at-Twitter: Google Menjawab Semuanya Pidi Baiq Menjawab Semaunya". Sebenarnya sudah mengenal nama penulis dari teman-teman saya satu jurusan yang berinteraksi dengan beliau di facebook. Saya belum pernah mengenal penulis secara langsung dari dulu. Saya hanya lihat teman-teman saja yang terlihat akrab dengan penulis di facebook.
Akhirnya, saya bisa membaca beberapa buku Pidi Baiq. Dari tulisannya yang nyeleneh dan agak absurd ini tapi di dalamnya tersimpan makna kehidupan yang berharga. Menghargai sesama, berbagi pada sesama yang membutuhkan dengan seninya tersendiri tanpa adanya kesenjangan atau jarak di antaranya. Cenderung gokil berbagi dengan sesama.
Buku ini terdiri dari beberapa kumpulan cerpen (bahkan penulisnya masih bingung cerpen atau catatan harian). Ada 18 kisah di dalamnya yang menceritakan pengalaman penulis sehari-hari; Air Lembang Panas; Drunken Monster; Jalan Ke Mana-Mana; Jalan-Jalan Minggu; Mengejar Kereta; Institut Tahi Burung; Mangga Monyet; Hari Senin; Pulang Dari Jakarta; Oh, Kerja; Martinus, O; Manggo Mimo; Noor Rosak; Ronda; Ayah Sakit; Dayat; Angkot Kiri; Ojek Nyegik. Bacanya dijamin nggak akan sakit mata atau sakit perut, hehehe..
Motor, saya bikin berhenti di pangkalan becak. Saya ambil HP. Itu karena saya mau menelepon Timur di rumah. Rupanya dia belum tidur. Juga bebe. Oh, ini malam Minggu. Saya suruh mereka menunggu di depan rumah, menyambut ayah karena ayah sebentar insya Allah akan sampai.
"Mang Ikun!" Itu saya bereteriak kepada salah satu tukang becak.
"Ya!"
"Sini bentar."
"Ada apa, Bang Pidi?"
"Bisa bawa motor, euy?"
"Bisa. Kenapa, Bang?"
"Mang Ikun bawa motor ini ke rumah saya, ya!"
"Bang Pidi? Ke mana?"
"Saya juga pulang, tapi pake becak Mang Ikun. Saya yang bawa becak."
"Hah...hehehe...kumaha?" Kumaha itu, artinya bagaimana.
"Serius, Mang Ikun. Nanti saya bayar. Ya, Mang ya? Ini jaket dan helmnya sekalian pake." Saya turun dari motor. Mang Ikun ambil jaket, pake jaket, pake helm, dan ambil alih motor saya. Saya bergegas pergi untuk mengambil becak Mang Ikun.
"Kamana Ikuuun!" teriak kawan-kawannya sesama tukang becak.
"Wah hebat si Ikun!" itu teriakan tukang becak lainnya.
"Si Bang Pidi lagi bingung, nih!" Mang Ikun teriak kepada teman-temannya sambil ketawa.
"Mang, yang mana becak Mang Ikun?" tanya saya kepada kerumunan tukang becak.
"Iya itu, Bang."
"Ini?"
"Iya, Bang."
"Itu, Si Mang Ikun katanya pengen bawa motor saya ke rumah. Saya disuruhnya pake becak. Dasar!" kata saya kepada kerumunan tukang becak yang sedang main remi. (hal. 121).
Becak melaju, diringi gemerincing bunyi rantai saling beradu. Suara klakson yang sengaja saya bunyikan. Oh. Becak, kau berat juga kiranya. Pun, saya mendadak belok sendiri. Apalagi itu, kondisi jalan yang buruk. Penuh lubang dan banyak serakan batu kerikil. Jadi tahu sudah, ternyata tidak gampang bawa becak. Sumpah. Susah kalau harus dijelasin. Harus kamu rasain sendiri. (hal. 122).
Itu salah satu dari cerita di buku "Drunken Monster" ini. Ada banyak hal nyeleneh lainnya di dalam buku ini. Misalnya cerita Manggo Nimo, bercerita mengajak makan Mang Ikun, Mang Oding dan Mang Gofar (para tukang becak) di cafe. Pulangnya diantar ke rumah masing-masing sambil membawa barang pilihan saat mampir di pusat perbelanjaan.
Dalam cerita Ojek Nyegik, menipu tukang ojek dengan minta diantar ke Abah Salahin, orang yang suka bantu mau nyegik. Keliling-keliling naik ojek menanyakan Abah Salahin ke tiap orang yang dilewati. Pura-pura menelepon bilang bahwa Abah Salahin ternyata baru saja meninggal. Memberi uang ke tukang ojek dan kembali ke dalam mobil yang diparkir tidak terlihat dari pangkalan ojek. Nggak kebayang itu tukang ojeknya bingung diajak muter-muter cari yang namanya Abah Salahin, hehehe...
Masih banyak lagi cerita gokil lainnya yang hampir membuat perut mules karena terlalu banyak ketawa. Misalnya saja, membaca percakapan antara penulis dengan Dayat. Itu percakapan sehari-hari yang sepintas nggak penting tapi ternyata lucu juga bacanya.
Saya sepakat dengan pak Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB, mengatakan bahwa ketika Thomas Hobbes bilang bahwa pada dasarnya manusia itu serigala bagi manusia yang lainnya, ketika filsuf Sartre menganggap manusia adalah neraka bagi sesamanya dan Freud melihat dalam diri manusia terdapat thanatos alias kecenderungan destruktif, buku ini seperti menujukkan kebalikannya - manusia itu baik saja adanya. Namun barangkali, itu cuma berlaku untuk manusia Sunda atau Indonesia? Mungkin juga tidak, sih.
Saya tidak akan banyak komentar soal struktur kalimat dalam buku ini. Memang seperti itu adanya. Kalau tidak begitu ya bukan Pidi Baiq, seorang seniman yang nyentrik. Kalimat seperti itu tidak mengurangi pesan yang hendak disampaikan pada pembaca dan maknanya tetap tersampaikan. Ini buku mengenai kemanusiaan yang unik, belajar berbagi dengan sesama tanpa ada jarak antara pemberi dan penerima, dibuat sangat santai dan akrab.
Terakhir saya beri 4 dari 5 bintang. Meski terlambat baca buku ini, saya merasa beruntung bisa mengambil pesan dan makna di dalamnya. Indahnya saling berbagi.