Judul buku: Paris: Aline
Aku bersandar, menghela napas. Menatap porselen tersebut. Sebaliknya, kucari tahu saja tentang Aeolus Sena ini. Mungkin dia pembuatnya?
Itu pun karena kesalahan mereka karena selalu menyiksanya, sampai memukul dengan beton? Ngeri banget, emang ada ya kenyataannya seperti itu? Mengharukan juga saat Aline memperjuangkan cintanya, Sena, sampai dia rela disekap di rumah pasangan Poussin ini berhari-hari dengan tumpukan ketikan tanpa makanan yang memadai. Sena membawa Aline keluar dari rumah pasangan Poussin dan bersumpah akan kembali, bersumpah demi Nino.
Di waktu luang, lulusan prodi Sastra Inggris Universitas Airlangga ini sangat suka mendengarkan musik klasik, membaca novel dan manga, menonton film dan anime, mendengarkan K-Pop, makan dan menulis.
Penulis: Prisca Primasari
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: Pertama, 2012
Tebal: x + 214 halaman
ISBN: 979-780-577-8
Paris punya banyak sekali tempat menarik: Sacre Coeur,
kafe-kafe di St. Germain, kanal de l’Ourcq, Quartier Latin yang kutinggali di
5eme arrondissement, Eiffel yang klise itu kalau mau gampangnya. Mengapa Place
de la Bastile ini yang dia jadikan tempat pertemuan? Pukul dua belas malam
pula. Orang itu sudah tak waras atau apa? Bagaimana kalau tiba-tiba ada kepala
transparan yang muncul… atau bayangan tempat tidur penuh paku, atau suara-suara
jeritan meminta tolong –
Kupandang hiasan dinding – atau lebih tepatnya mantan hiasan
dinding – porselen di tanganku. Keretakannya sama sekali tak bisa ditutupi,
malah semakin jelas dengan lem kekuningan yang membuat fragmen-fragmennya
menempel satu sama lain. Menyatukan porselen tersebut bagaikan bermain bongkar
pasang terumit, menghabikan waktu luangku yang bisa dibilang langka. Namun, apa
boleh buat, aku sendiri yang cari-cari masalah.
Berawal dari si… oke, lebih baik tidak kusebut namanya.
Panggil saja dia Ubur-Ubur. Jadi, Ubur-Ubur adalah koki di bistro Indonesia
tempatku bekerja paruh waktu – sama sepertiku, dia juga berasal dari Indonesia.
Aku sudah lama menyukainya (hal terbodoh dalam seumur hidup), berharap suatu
saat dia akan memperhatikanku, tetapi kemarin lusa baru aku sadar bahwa
laki-laki yang sangat self-centered, sangat
pintar (baik dalam hal otak maupun kuliner), sangat oke (paling tidak sebelum
aku menyebutnya ‘ubur-ubur’) tidak mungkinlah melirik gadis seperti aku. Baru
aku sadar, memangnya siapa aku berani-berani mengharapkannya? Si Ubur-Ubur
lebih memilih rekan sesame kokinya, L’impressionnante Mademoiselle Lucie, yang
bila dibandingkan denganku ia bagaikan sebongkah zamrud – sedangkan aku
kerikil. Aku pendek, Lucie jangkung; aku berkulit kecoklatan, Lucie seputih
losion; aku tidak mirip artis siapa pun, Lucie mirip Marion Cotillard. Mengapa
aku terlambat mengetahui bahwa si Ubur-Ubur seleranya tinggi?
Aeolus Sena.
Yang pertama kali terpikir olehku adalah salah satu karakter
manga favoritku: Aiolos de Sagittaire. Nama mereka mirip. Kemudian, aku
menggeleng, sadar bahwa itu tidak penting.
Aku bersandar, menghela napas. Menatap porselen tersebut. Sebaliknya, kucari tahu saja tentang Aeolus Sena ini. Mungkin dia pembuatnya?
Tapi, buat apa? Kalau dia membuang benda ini, berarti dia
tidak butuh , kan? Lagian, Aeolus Sena jelas nama laki-laki. Laki-laki suka
warna ungu?
Warna yang sangat bagus. Tulisannya juga. Dan, kata petugas
kebersihan tadi, harga porselen ini tidak murah.
Akhirnya, aku mengirim pemberitahuan ke alamat e-mail Aeolus
Sena yang entah masih aktif atau tidak. Aku bahkan nyaris yakin takkan mendapat
jawaban, tetapi sungguh mengejutkan karena tak sampai sejam kemudian, emailku
dibalas.
Allo. Makasih banyak e-mailnya. Dari Indonesia juga? Oke
kalau gitu. Kita ketemu nanti di Place de Bastille pukul 12 malam.
Aku ingat cara kak Ezra memeriksa porselen itu, dengan
gerakan pelan dan terkadang ragu-ragu, lalu mengambil kesimpulan.
“Yang bikin perempuan.”
“Eh, memangnya porselen itu bukan bikinan kamu, ya?” tanyaku
sekonyong-konyong.
“Hm?”
“Di bawahnya ada tulisan ‘Aeolus Sena’. Saya kira yang bikin
kamu. Tapi, kata Kak Ezra, yang bikin perempuan. Bener?”
Senyum Sena memudar sedikit. Dia lalu memandang ke luar
jendela, ekspresinya sulit ditebak.
“Sebenarnya, tulisan di bawah itu bukan Cuma ‘Aeolus Sena’,
“ katanya. Tapi ‘A Aeolus Sena’. Cuma, mungkin karena pecah, huruf A-nya jadi
terkelupas.”
Ini tentang sebuah pertemuan takdir Aline dan seorang
laki-laki bernama Sena. Terlepas dari hal-hal menarik yang dia temukan di diri
orang itu, Sena menyimpan misteri, seperti mengapa aline diajaknya bertemu di
Bastille yang jelas-jelas adalah bekas penjara, pukul 12 malam pula?
Dan mengapa pula laki-laki itu sangat hobi mendatangi
tempat-tempat seperti pemakaman Pere Lachaise yang konon berhantu?
_____________________
Novel yang berjudul “Paris: Aline” karya Prisca Primasari
ini adalah novel pertama di tahun 2013 yang membuat saya tidak menunda
membacanya berhari-hari. Hanya kurang lebih setengah hari saya membaca novel
ini sampai selesai. Awalnya membaca novel ini tertarik dengan judulnya “Paris:
Aline”. Yap, saya begitu tertarik dengan Paris. Kebetulan si tokohnya dalam
novel ini bernama Aline, hey itu nama yang mirip dengan saya. Juga tokoh Aline
ini pun mengambil jurusan sejarah di Paris. Semua serba kebetulan dengan saya
rupanya. Itu menambah penasaran saya membaca novel ini.
Dalam setengah hari itu saya membaca novel ini di sore hari
kemudian dilanjutkan malam harinya sampai selesai baca novel ini. Semakin
penasaran setelah membaca halaman 71, penasaran dengan siapa itu Aeolus Sena
yang misterius juga dengan porselen yang ditemukan Aline dan ingin dikembalikan
pada pemiliknya Aeolus Sena.
Suka alur ceritanya yang bikin penasaran untuk terus membaca
sampai akhir ceritanya dan menemukan misteri dalam diri Sena. Agak sedikit
klise juga sih ada ya keluarga seperti pasangan Poussin yang tega mengurung Sena
di rumah mereka seperti dalam penjara? Pasangan Poussin ini mengerikan sekali
hampir seperti psikopat, menganggap Sena adalah anaknya, almarhum Nino yang
sudah lima tahun meninggal dunia.
Itu pun karena kesalahan mereka karena selalu menyiksanya, sampai memukul dengan beton? Ngeri banget, emang ada ya kenyataannya seperti itu? Mengharukan juga saat Aline memperjuangkan cintanya, Sena, sampai dia rela disekap di rumah pasangan Poussin ini berhari-hari dengan tumpukan ketikan tanpa makanan yang memadai. Sena membawa Aline keluar dari rumah pasangan Poussin dan bersumpah akan kembali, bersumpah demi Nino.
Paling mengharukan itu ketika Aline mengetahui tentang
perasaan Kak Ezra padanya selama ini melalui sebuah DVD berisi film pendek
dengan Kak Ezra sebagai pemerannya. Film itu berdurasi sekitar 15 menit. Cerita
yang membuat berkaca-kaca membacanya. Greget juga kenapa si tokoh Aline ini
tidak pilih Kak Ezra aja ya? Loh?! (ditoyor penulisnya #eh).
“Maaf…,” bisikku.
“Jangan,” ujarnya. “Saya sudah cukup senang bisa kenal
Aline. Seperti yang sudah saya bilang, saya jadi mengetahui warna-warni lain.
Jangan minta maaf”
Sedih baca percakapan antara Aline dengan Kak Ezra. Mata
berkaca-kaca gini bacanya.
Karakter tokoh Aline di novel ini lucu, penuh warna-warni
seperti yang Kak Ezra katakan. Meski kata si Ubur-Ubur itu katanya Aline itu nggak
penting, kekanakan, tampang nggak banget. Juga seperti yang dikatakan Sena
kalau Aline itu pikiran sempit, nggak percaya diri tapi sok kuat, melankolis
tidak pada tempatnya, suka berjibaku pada hal-hal tidak penting. Terlepas dari
itu semua, saya suka karakter tokoh Aline ini. Tanpa kehadiran si tokoh Aline
dalam novel ini rasanya garing.
Suka alur ceritanya yang bener-bener bikin penasaran dan
terus baca sampai akhir. Juga endingnya pun menarik. Sebenarnya keseluruhan
ceritanya disajikan dalam sebuah diari yang ditulis oleh Aline untuk dibaca
oleh sahabatnya, Sevigne. Hmm, jadi saya kasih bintang 5 dari 5 bintang untuk
novel ini. Dari beberapa novel yang saya baca di tahun ini, novel “Paris:
Aline” inilah yang mampu menarik saya untuk terus membacanya sampai akhir dan
hampir kurang dari sehari saya menyelesaikan novel ini.
Ditambah ada kartu pos bergambar menara Eiffel yang terselip
di dalamnya menambah kesan cantik pada novel “Paris: Aline” ini. Membaca novel
ini seperti sedang berkunjung beberapa hari di Paris. Diajak berkeliling oleh
si tokoh Aline dan sederet konflik dalam ceritanya.
Tentang Penulis
Prisca
Primasari, penulis Éclair, Beautiful Mistake, dan Kastil Es dan Air
Mancur Yang Berdansa, lahir di Surabaya, 22 Februari 1986.
Di waktu luang, lulusan prodi Sastra Inggris Universitas Airlangga ini sangat suka mendengarkan musik klasik, membaca novel dan manga, menonton film dan anime, mendengarkan K-Pop, makan dan menulis.
Salah satu wishlist saya, sampe sekarang belum keturutan, maklum mahasiswi belum bisa menghasilkan uang sendiri, hehe *eh malah curcol :D
BalasHapusSaya belum pernah baca karyanya Prisca, sebagai bahan referensi, menurut mbak, dari semua novelnya Prisca yang paling mengena di hati yang mana nih??
Saya juga baru kenalan sama novelnya Prisca. Pertama baca ya novel Paris ini langsung mengena di hati ^__^
HapusHai..
BalasHapusEm, aku sebenarnya udah punya buku ini, tapi belum sempat baca. Dan, buku ini juga baru pulang setelah dipinjam dan di bawa ke malang hampir satu bulan.
Setelah baca Review kamu aku jadi penasaran, deh! sesempurna apa novel ini, karena seorang temanku menilai novel ini masih kalah bagus sama Barcelona Te Amo.
Ya, bagus nggak bagus emang relatif sih, soalnya adikku juga bilang ini salah satu buku yang bagus. Cara berceritanya nggak biasa. Aline bukan bercerita, tapi Aline sedang menulis buku diary'nya, dan kita pembaca bukan membaca cerita Aline, tapi membaca diary'Aline. Hehehe... ini baru katanya lho! Ah, habis baca buku terakhir ini, aku mau baca Paris aja, Barcelonanya di undur dulu.
:D
Saya juga suka Barcelona Te Amo tapi belum sempet baca ding hehe :p baru mau baca, novel itu juga nggak kalah bagus memang (acungin dua jempol). Makasih udah mampir ya :D
Hapusjadi penasaran pengen baca novel ini. tokoh Aline dengan hebat bisa mengajak pembaca seolah-olah menjadi dirinya yang berada di Paris dengan hiruk pikuk kehidupannya.
BalasHapuslengkap sekali review nya kakak ;)
Yap, saya juga suka sama karakter tokoh Aline yang dibuat di dalam novel ini :)
HapusNovel Seri pertama #STPC oleh GagasMedia ini sebenarnya sudah saya baca. Tapi, sebelumnya saya sudah baca seri pertama #STPC oleh Bukune yang judulnya Last Minute in Manhattan dan buku itu berhasil membuat saya jatuh cinta. Dalam membaca buku ini, ekspektasi saya sangat tinggi berharap bisa seasik saya membaca Lat Minute in Manhattan. Tapi, saya nggak enjoy bacanya. Saya seperti maksa baca novel ini sampai habis karena selanjutnya saya mau baca seri kedua #STPC oleh Bukune yang judulnya Barcelona, Te Amo. Yah itu sih menurut saya sih mba tentang buku ini. Selera orang memang berbeda-beda :)
BalasHapusYap, betul. Saya juga pengin baca Barcelona, Te Amo. Bagus novelnya :)
HapusAduh reviewnya aja bener-bener bikin aku penasaran. Apalagi kalo baca isi novelnya ya? Jujur deh, aku baru tahu tentang novel Paris. Dan aku baru tau judulnya dari review di blog kaka ini.
BalasHapusNovel paris harus masuk dalam daftar resensi novelku..hehe
aku suka semua review kakak disini.. reviewnya lengkap.
tapi kak~ kenapa nggak mengulas sedikit aja misteri di alur cerita ini? Tapi mengulasnya make bahasa kaka sendiri. Biar nambah kesan penasaran para readers-nya gitu..hehe, aku aja penasaran pengen tau misterinya tu seperti apa?
Kalo udah dapet novel ini "Happy reading" ya :D Makasih juga udah mampir baca review2nya :)
Hapushai Kak, salam kenal ya..
BalasHapuswuihh,, baca reviewnya jadi makin penasaran sama ceritanya ni..
kayanya karakter Sena itu menarik deh, selain Aline tentunya. settingnya juga di Paris.
bnr2 menggoda banget. hehehe,, :D
Nice review kak :D
Karakter kak Ezra juga keren hehe..
HapusMakasih udah mampir baca ya :)
Novel ini sudah hampir satu bulan belum kesentuh di rak buku sampai sekarang, padahal dulu jadi wishlist selama berbulan-bulan entah kenapa belum ada keinginan buat ngebacanya.
BalasHapusTapi setelah baca review ini, jadi pengen baca. Besok kalau udah ada waktu luang coba baca paris deh :)
Sayang tuh kalo cuma dianggurin novelnya, nggak nyesel beli deh..
HapusHappy reading :)