Judul buku: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG
Cetakan: Pertama, Desember 2012
Tebal: viii + 464 halaman
ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Harga: Rp 70.000
dok. koleksi pribadi
Itulah cerita singkat dari novel Pulang karya Leila S. Chudori. Kekurangan novel ini mungkin terlalu banyaknya tokoh-tokoh selain tokoh utama yang diceritakan. Ada beberapa tokoh yang hanya diceritakan sekilas saja. Kelebihan dari novel ini adalah latar belakang cerita ini mengangkat peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah seperti peristiwa di tahun 1965, Prancis Mei 1968 dan Jakarta Mei 1998. Begitu menyuarakan sisi kemanusiaan yang hampir menghilang dalam ingatan sejarah. Baru saya ketahui bahwa cerita dalam novel ini berdasarkan kisah nyata dari Umar Said (Alm), Sobron Aidit (Alm), Kusni Sulang sebagai eksil politik menjadi salah satu inspirasi novel ini. Kisah Restoran Tanah Air di Paris merupakan kisah dari restoran Indonesia yang di Paris. Membaca novel ini seperti mengingat kembali yang terjadi di masa lalu dan seakan menyentil pembaca agar tak melupa masa lalu.
Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih pada penerbit KPG dan penulisnya mbak Leila S. Chudori karena telah memberi hadiah novel “Pulang” yang begitu menyentuh hati dan menyuarakan sisi kemanusiaan.
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG
Cetakan: Pertama, Desember 2012
Tebal: viii + 464 halaman
ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Harga: Rp 70.000
Hari ini mumpung hari libur yang cuacanya cerah dari beberapa hari
kemarin yang selalu hujan dan banjir. Hari libur kali ini mengisi hari
dengan menulis resensi buku “Pulang” karya Leila S. Chudori. Mungkin
tulisan ini sebagai ucapan terima kasih karena telah diberi novel
“Pulang” secara gratisan dalam kuis di twitter bulan November. Terima
kasih sudah memberi kesempatan buat saya memiliki dan membaca karya yang
bagus dari penulis lawas. Satu kata “mantaaapp” pantas untuk novel ini.
Baiklah, tanpa harus lama-lama lagi mari mulai menyimak isi cerita novel
“Pulang” tersebut. Dijamin membacanya menumbuhkan rasa kecintaan
terhadap negeri sendiri karena belajar memahami sejarah bangsa ini.
Meski novel ini menceritakan kisah atau peristiwa di tahun 1965 namun
penulisnya tidak berniat untuk menceritakan siapa yang benar dan siapa
yang salah dibalik peristiwa 30 September 1965 itu. Novel ini hanya
sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar
belakang tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis
Mei 1968 dan Indonesia Mei 1998.
dok. koleksi pribadi
Disaat meletusnya peristiwa 30 September 1965, Dimas Suryo berada di
Chili menggantikan Hananto Prawiro untuk menghadiri konferensi wartawan
internasional (International Organization of Journalist). Kondisi di
jakarta mencekam. Segala sesuatu yang berhubungan dengan partai komunis
(anggota, simpatisan dan keluarga) diamankan. Kantor Berita Nasional
yang dekat dengan partai komunis juga digulung tentara.
Sebelum terjadi
30 September di dalam Kantor Berita Nasional terbagi menjadi dua kubu
yaitu kubu pengagum PKI dan kubu yang gerah dengan segala sesuatu yang
berbau kiri. Dimas tidak menetapkan pilihannya pada ideologi manapun.
Dimas berkawan dengan Hananto Prawiro dan Nugroho yang ‘kiri’ tetapi
juga suka berdiskusi dengan Bang Amir yang mempunyai pandangan
kebalikannya.
Sejarah meski tak tertulis - membutikan, untuk tiga tahun berikutnya
setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap kekejian: perburuan,
penunjukan nama, penggeledahan, penangkapan, penyiksaan, penembakan dan
pembantaian. Hananto menghilang dan dia masuk daftar orang-orang yang
paling diburu. Kelak, 3 tahun kemudian menjadi horor bagi keluarga
Hananto belum juga selesai karena tentara tak kunjung menemukan Hananto.
Surti Anandari (istri Hananto) dan ketiga anaknya dibawa ke Budi
Kemuliaan dan berdiam disana berbulan-bulan karena pihak tentara merasa
dia pasti tahu lokasi suaminya.
Nugroho kehilangan kontak dengan Rukmini (istrinya) dan putra mereka,
Bimo, yang berusia setahun. Dari hari ke hari bahkan setiap 3 jam
mendengar kabar buruk silih berganti. Anggota partai komunis, keluarga
atau mereka yang dianggap simpatisan diburu habis-habisan. Bukan hanya
ditangkap tapi terjadi eksekusi besar-besaran di seantero Indonesia
bukan hanya di Pulau Jawa.
Lalu jatuhlah bom berikutnya yaitu paspor dicabut. Dimas Suryo, Nugroho,
Tjai dan Risjaf menjadi sekelompok manusia tanpa identitas. Merasa
seperti menanti pedang Democles jatuh menebas leher. Setiap hari hidup
mereka diisi dengan debar jantung karena tak yakin dengan nasib yang
terbentang di depan.
Untuk pulang tak mungkin. Untuk melangkah buana
masih sulit. Akhirnya Dimas, Nugroho, Tjai dan Risjaf memutuskan pergi
ke Peking karena banyak sekali kawan-kawan yang berkumpul disana. Mereka
akan bisa membantu persoalan surat-surat perjalanan dan menembus
imigrasi.
Nugroho mendengar kabar baik bahwa Rukmini dan Bimo bersembunyi di
Yogya. Nugroho menyarankan agar mereka pindah ke Jakarta dan menumpang
dengan adik lelaki Nugroho.
Tjai mendapat kabar baik keluarganya selamat menyebrang sampai ke
Singapura. Sebetulnya Tjai adalah lelaki paling apolitis dari tiga
kawannya. Tjai keturunan Tionghoa yang bekerja di Kantor Berita
Nusantara, meski bukan bagian dari redaksi.
Dimas mendarat di Paris awal tahun. Semula terpencar-pencar. Nugroho
memilih Swiss dan Risjaf memilih Belanda. Di Paris, Dimas bertemu dengan
Tjai dan Theresa istrinya, yang sudah berdiam disana sejak hari Natal.
Tak lama kemudian Risjaf segera bergabung dan berdiam di apartemen
kumuh bersama Dimas. Nugroho kecantol perempuan Swiss menunda-nunda
kedatangannya hingga bulan April. Namun setelah dibentak oleh Dimas,
mengingat Rukmini dan Bimo pasti sedang dikejar rasa takut oleh situasi
gila di tanah air, akhirnya Nugroho setuju bergabung bersama di Paris.
Meski Prancis memang dikenal sebagai negara yang memeluk para pengelana
politik dengan hangat, tentu tak begitu saja mendapatkan
kewarganegaraan. Proses birokrasi untuk menjadi warga negara tetap saja
melalui prosedur dan persyaratan yang cukup lama dan rumit. Untuk
sementara dapat memegang apa yang disebut Titre de Voyage atau Surat
Perjalanan. Kemana saja bisa di dunia, kecuali Indonesia.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup di Paris Nugroho sebagai akupuntur. Tjai
bekerja di toko kecil di pinggiran kota Paris sebagai akuntan. Risjaf
dan Dimas, dua pengelana paling sial. Karena belajar sastra merasa diri
bagian dari kumpulan intelektual. Sedangkan Prancis adalah negeri tempat
lahirnya para sastrawan dan intelektual besar yang buku-bukunya menjadi
pedoman dan panutan. Risjaf dan Dimas setiap tiga atau empat bulan
berubah profesi. Dari pekerjaan buruh di berbagai restoran, klerek di
bank, hingga asisten kurator di galeri-galeri kecil yang hanya
dikunjungi tiga atau empat orang yang sok merasa diri seniman.
Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan,
berubah keluarga… segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari
kami terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar
tubuhnya sendiri — Dimas Suryo.
Paris, Mei 1968.
Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo, seorang eksil
politik Indonesia, bertemu Vivienne Devarux, mahasiswa yang ikut
demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas
menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya ditangkap
tentara dan dinyatakan tewas.
Ditengah kesibukannya mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas
berasama tiga kawannya - Nugroho, Tjai dan Risjaf terus menerus dikejar
rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak atau
menghilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30 September. Apalagi
Dimas tak bisa melupakan Surti Anandari - istri Hananto - yang bersama
ketiga anaknya berbulan-bulan diintegorasi tentara.
Jakarta, Mei 1998
Lintang Utara, putri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux,
akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam
pengalaman keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir
kuliahnya. Bersama Segara Alam, putra Hananto, Lintang menjadi saksi
mata apa yang kemudian menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah
Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah
berkuasa selama 32 tahun.
Itulah cerita singkat dari novel Pulang karya Leila S. Chudori. Kekurangan novel ini mungkin terlalu banyaknya tokoh-tokoh selain tokoh utama yang diceritakan. Ada beberapa tokoh yang hanya diceritakan sekilas saja. Kelebihan dari novel ini adalah latar belakang cerita ini mengangkat peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah seperti peristiwa di tahun 1965, Prancis Mei 1968 dan Jakarta Mei 1998. Begitu menyuarakan sisi kemanusiaan yang hampir menghilang dalam ingatan sejarah. Baru saya ketahui bahwa cerita dalam novel ini berdasarkan kisah nyata dari Umar Said (Alm), Sobron Aidit (Alm), Kusni Sulang sebagai eksil politik menjadi salah satu inspirasi novel ini. Kisah Restoran Tanah Air di Paris merupakan kisah dari restoran Indonesia yang di Paris. Membaca novel ini seperti mengingat kembali yang terjadi di masa lalu dan seakan menyentil pembaca agar tak melupa masa lalu.
Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih pada penerbit KPG dan penulisnya mbak Leila S. Chudori karena telah memberi hadiah novel “Pulang” yang begitu menyentuh hati dan menyuarakan sisi kemanusiaan.
Bandung, Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar