Hujan
selalu membawa kembali kepingan masa lalu yang tertinggal. Dalam
derasnya hujan selalu nampak sketsa bayangan seseorang yang pernah
mengisi ruang hati. Ada yang belum sempat terucapkan padanya yang telah
tulus memberikan separuh hatinya.
Ilustrasi Shutterstock
Arline Safitri, No. 67
Sore
itu aku sedang asik membaca sebuah novel di sudut ruang toko buku
kecil. Mataku terbelalak melihat hujan sore itu yang semakin deras. Ada
alasan untuk tetap bertahan di tempat duduknya menghabiskan waktu sambil
membaca novel dan menikmati secangkir kopi hangat. Di akhir pekan yang
selalu aku kunjungi, sebuah toko buku kecil langganan lengkap dengan
kafe kecil bernuansa klasik.
“Tumben kamu sendirian aja, Rianti?” tegur Raka salah satu pegawai di toko buku kecil itu.
“Oh iya, Arumi lagi ada kegiatan di kampusnya. Sini temani aku mengobrol” aku melihat sekeliling yang sepi pengunjung dan Raka memang sedang tidak sibuk bekerja.
“Asik yah baca novel? Serius gitu…” Raka menghampiri ke arahku.
“Hmm.. ini? Ceritanya sad ending, kurang setuju masa si Lintang gak bisa bersama dengan Rasyad hanya karena Lintang gak pernah mengucapkan perasaannya pada Rasyad. Bukannya sikap saja sudah bisa menunjukkan sebuah perasaan Lintang pada Rasyad? Kalau menurut aku si Rasyad ini terlalu egois atau mungkin hanya mencari alasan menjauhi Lintang” aku menceritakan kekesalan mengenai kisah dalam novel yang sedang aku baca.
Raka terdiam dan menyimak isi cerita novel itu. Raka kemudian menjawab dengan penuh percaya diri, “Kalau menurut aku sikap Rasyad itu udah benar. Lelaki punya keputusan yang tegas untuk memulai atau mengakhiri suatu hubungan”.
“Hah? Hanya lelaki yang egois saja yang berpikiran seperti itu. Itu keputusan sepihak namanya dan tidak adil dong bagi si ceweknya” aku memotong perkataan Raka.
“Lebih egois mana Lintang atau Rasyad? Lintang hanya mau menerima perhatian lebih dari Rasyad tapi Lintang sendiri tidak pernah mengucapkan perasannya selama ini pada Rasyad? Suatu hubungan perlu keseimbangan bukan?” Raka menjawab dengan rentetan pertanyaan menggantung.
“Lintang itu perempuan dan mungkin dia rasa gak perlu mengucapkan hal-hal seperti itu. Rasyad saja yang terlalu berlebihan” aku tetap pada pendirian semula.
“Lelaki itu juga perlu kejelasan logis dari si cewek, ya itu harus di ucapkan melalui kata-kata dong. Nah loh, kok jadi ribet yah ngobrolin si Lintang dan si Rasyad, itu sih urusan mereka hahaha…” Raka mencoba mencairkan perdebatan denganku.
“Hmm, iya juga sih tapi masih rada kesel nih sama akhir ceritanya. Kurang setuju aja gitu” aku kembali melihat jam di pergelangan tangan.
“Masih hujan diluar, tunggu saja sampai reda. Mau aku buatkan secangkir kopi lagi?” tanya Raka.
“Boleh deh… sambil nunggu hujan reda” sahutku.
Rianti membuka tas untuk mengambil laptop. Mulailah berselancar di dunia maya. Sesekali membuka twitter. Mungkin berbeda dengan orang lain yang baisa stalking akun twitter sang kekasih atau mantan kekasihnya, Aku sama sekali tak memberi celah pada masa lalu yang mengingatkanku pada seseorang. Isi twitter hanya info tentang buku dan para penulis yang menyemangatiku agar terus menulis, sesekali iseng ikut kuis di twitter. Hanya itu.
“Nih pesanan kopinya…” Raka menyodorkan secangkir kopi dengan hati-hati.
“Makasih Raka…”
“Sip. Oh iya kebetulan aku juga mau pulang cepat hari ini. Kamu lihat sendiri pengunjung sepi hari ini.
Hmm… kalau mau pulang bareng bisa sekalian jalan nanti”
“Oke deh. Kalau mau pulang kasih tahu yah…”
“Sip. Sekitar tiga puluh menit lagi aku siap-siap pulang. Aku beberes dulu…”
“Oke sip”
Sore itu aku dan Raka pulang bersama. Tak disangka Raka mengantarkanku sampai di depan rumah. Kebetulan arah jalan pulang kami berdua searah.
“Thank you Raka, lain kali bisa bareng lagi lumayan gratis hehe…” celetukku dengan candaan.
“Itu sih keenakan namanya. Aku pulang dulu nih udah sore”
“Oke, makasih loh udah dianterin”
Raka hanya terlihat membalas dengan senyum.
Aku kembali mengingat perkataan Raka di toko buku kecil itu “Suatu hubungan perlu keseimbangan bukan?” Pertanyaan itu seolah membuka masa laluku saat pertama mengenal Jati. Jati sosok laki-laki pertama yang pernah mengisi hati dan hari-hariku. Hujan sore itu seakan membawa kembali masa lalu.
Sketsa wajah Jati masih membekas dalam ingatan. Terakhir kali melihatnya saat rintik hujan seusai dia mengikuti karnaval 17 Agustus-an. Saat itu Jati merupakan anggota dari marching band. Selepas lelah mengikuti karnaval itu Jati menyempatkan mampir ke rumahku. Dan saat itu terakhir kali melihat Jati. Jati memilih pergi karena aku selalu memilih diam jika ada masalah. Padahal saat itu aku sedang cemburu mendengar Jati telah dekat dengan perempuan lain yang aku dengar dari sahabatnya. Aku menganggap itu perselingkuhan dan tak bisa di maafkan.
Aku pikir masih ada waktu kembali bertemu Jati. Namun semuanya terlambat. Jati memilih pergi untuk selamanya. Ada kata-kata yang masih belum terucap untuknya, kata maaf dan rasa sayangku pada Jati. Itu dulu dan sudah berlalu sekian lamanya, kenangan saat masih mengenakan seragam putih biru.
Kata-kata Raka itu seolah menampar wajahku keras dan mengingatkan masa laluku. Begitu aku telah kehilangan kesempatan untuk mengatakan kata maaf dan rasa sayang pada Jati. Kesempatan tak akan pernah terulang kembali, aku menyadari itu. Dan waktu akan terus berlalu ke depan tanpa bisa berhenti sejenak dan memutar kembali ke masa lalu.
Inilah Hasil Karya Peserta Event Belajar Fiksi – Sudut Pandang Orang Pertama –> disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar