Minggu, 21 April 2013

Yang Tergusur

                                                         Ilustrasi: Rendra Purnama

Cerpen Arlin Widya Safitri (Dimuat di Republika, 8 Januari 2012)

ANGIN semilir selalu menyejukkanku pada saat berdiri di bawah terik sinar matahari. Kicauan burung-burung kecil selalu menghiburku di tengah ingar-bingar manusia yang sibuk membangun istana. Dari pagi hingga sore, manusia hilir mudik tanpa lelah. Asap knalpot telah menjadi candu. Anak-anak jalanan belari-lari kecil menjadi pemandanganku sehari-hari. Terasa penat memang. Maka, biarkanlah aku menjadi pemandangan hijau, menetralisasi kepulan asap knalpot, dan mengisi perut-perut yang kosong.

Tepat di perempatan lampu merah aku berada. Di sudut kota tempat manusia sibuk membangun istana. Aku berdiri di tanah subur dengan pemilik tanah yang peduli lingkungan sekitar. Usiaku kini tak lagi muda. Tak terasa sudah puluhan tahun aku berada di sini. Aku bangga dapat berada di sini. Bahagia rasanya bila tak disengaja memergoki beberapa pasang mata manusia tengah asyik memandang ke arahku. Mungkin beberapa pasang mata manusia itu merasa penat melihat gedung-gedung yang kaku, kemacetan lalu lintas, dan sebagainya. Kadang aku bersyukur diciptakan bukan sebagai seorang manusia. Membayangkan menjadi seorang manusia kupikir sangat melelahkan.

Hidupku mempunyai suatu tujuan. Pada akhir nanti, bila sudah waktunya, aku akan menghasilkan butiran-butiran biji yang dikatakan beras oleh manusia. Aku senang dapat mengisi perut-perut kosong para manusia.

Pagi itu aku melihat sekelompok anak-anak jalanan yang tengah mencari rezeki demi terpenuhi perut-perut kosong mereka itu. Aku berpikir, “Apakah butiran-butiran biji yang telah kuhasilkan selama ini sampai ke tangan mereka? Apakah perut-perut kosong mereka itu pernah mencicipi butiran-butiran biji yang kuhasilkan selama ini?” Lama aku berpikir dan tetap saja tak menemukan jawaban yang memuaskan.

Hari-hari selalu kucoba penuh senyuman. Aku tak ingin memedulikan bangunan-bangunan yang kaku itu, suara bising dari kendaraan bermotor, kepulan asap knalpot, kemacetan lalu lintas, anak-anak jalanan yang tanpa lelah mencari rezeki, dan lelucon dari doger monyet itu untuk beberapa saat. Beruntung angin semilir selalu menyejukkanku pada saat berdiri di bawah terik sinar matahari dan burung-burung kecil masih mau menghiburku dengan kicauan merdunya. “Silakan ambil beberapa butiran biji dariku, tak apa-apa!” teriakku pada burung-burung kecil itu. Aku senang kehadiran burung-burung kecil itu mengalihkan pandangan sehari-hari yang membuatku penat.

Keberuntungan bagiku karena masih ada beberapa manusia yang mau merawatku dengan baik. Mereka itu petani-petani yang rajin dan pekerja keras. Mereka itu selalu memperhatikan kebutuhan gizi untukku agar aku sehat dan menghasilkan butiran-butiran biji yang bermutu. Mereka itu selalu memberiku air yang cukup.

Bagaimanapun juga aku sama seperti seorang manusia yang membutuhkan minum dan gizi yang cukup. Aku akrab dengan mereka. Rasanya aku ingin akrab juga dengan pemilik tanah ini. Tapi, tiap hari kutunggu kehadirannya tetap tak pernah muncul. Aku ingin berterima kasih telah membiarkan aku hidup di sini dan mengirim petani-petani itu untuk merawatku. Kubayangkan pemilik tanah ini seorang yang ramah dan dermawan. Tak tahan rasanya ingin bertemu dengan sosok pemilik tanah ini.

***

Pagi itu ada dua buah mobil mewah berhenti di depanku. Beberapa manusia keluar dari dua buah mobil mewah itu. Aku memperhatikan mereka dari kejauhan. Suara bising dari kendaraan bermotor membuatku tak dapat mendengar percakapan di antara mereka. Salah satu di antara mereka menunjuk ke arahku dan yang satunya lagi manggut-manggut. Lumayan lama percakapan di antara mereka. Sekali lagi aku hanya memperhatikan mereka dari kejauhan. “Mungkinkah salah satu di antara mereka itu adalah pemilik tanah ini? Senang rasanya dapat melihatnya,” bisikku pelan. Pagi hari ini aku merasa beruntung karena telah dikunjungi pemilik tanah ini. Senyum menghiasi pagi hari ini. “Salah satu di antara mereka itu adalah pemilik tanah ini,” pikirku penuh keyakinan.

Dua buah mobil mewah itu tak lama kemudian pergi meninggalkanku. Kepergian mereka itu meninggalkan berbagai pertanyaan, tapi sebagian besar membuatku ingin terus tersenyum.

Sejak pagi itu, aku selalu berkhayal pemilik tanah ini akan mengunjungiku lagi suatu hari nanti. Entah kapan itu. Penuh harapan, aku selalu meminta hal itu terulang kembali. Dengan harapan suatu hari nanti ketika pemilik tanah ini kembali mengunjungi tempat aku berada ini, ada keinginan mengucapkan kata “terima kasih” untuknya. Entah bahasaku nanti dapat dimengerti atau tidak oleh pemilik tanah ini. Membayangkan hal itu terjadi membuatku tersenyum sendirian.

***

Beberapa bulan kemudian, aku melihat beberapa mobil mewah berhenti di depanku. Aku memperhatikan dari kejauhan. Masih teringat dengan beberapa manusia yang pernah mengunjungiku sebelumnya. “Pemilik tanah ini kembali mengunjungiku,” teriakku senang. Sesuai dengan harapanku sebelumnya ingin mengucapkan kata “terima kasih” untuknya. “Terima kasih tuan yang baik hati,” teriakku sekencang-kencangnya. Mereka tak ada yang menoleh satu pun. Mereka sama sekali tak mendengar suaraku.

Aku menghibur diri, “Pasti pesanku sudah sampai di hati pemilik tanah ini.” Pemilik tanah ini pasti dapat merasakan kebahagiaan yang kurasakan sejak dari tadi. Seperti kedatangan yang sebelumnya, kepergian beberapa mobil mewah selalu saja tanpa pamit. Mereka datang dan pergi tanpa memberitahuku. “Memang kau ini siapa!” hardikku pada diri sendiri.

Keesokan harinya, petani-petani itu datang dengan wajah lesu seperti belum makan seharian. Tak biasanya mereka berwajah murung seperti saat ini. Semangatnya saat ini seolah luntur. Entah kenapa.

Petani-petani itu tetap merawatku dengan baik meski sedikit kurang bersemangat. Mulut mereka komat-kamit seperti sedang mencaci-maki seseorang. Entah siapa itu. Andai aku mengerti apa yang diucapkan mereka. Aku hanya mengerti dari bahasa tubuh mereka. Bahasa tubuh mereka itu menyiratkan kekecewaan, kekesalan, dan amarah yang tak bisa diungkapkan. Aku berpikir, “Rasa kekecewaan, kekesalan, dan amarah itu untuk siapa?” Lama aku berpikir dan tetap saja tak menemukan jawaban yang memuaskan.

Rasanya ingin sekali aku berbincang-bincang dengan mereka.

Aaaaahhh… mereka tak mengerti bahasaku!”

Saat ini, aku hanya dapat diam, termenung, dan menatap ke arah mereka. Ingin aku katakan, “Tenang semuanya akan baik-baik saja.” Tapi, rasa gundah ini tak dapat aku hindari. Aku tak dapat membohongi diri sendiri. Ada rasa takut menghadapi esok hari.

Petani-petani itu tak seperti biasanya setelah seharian sibuk merawatku mereka kini betah duduk berlama-lama hanya untuk memandangku. Kali ini, sikap mereka itu membuat penasaran bertambah.

Pertanyaan-pertanyaan aneh muncul begitu saja melihat sikap mereka yang tak seperti biasanya. Seharian sibuk merawatku kini mereka betah duduk berlama-lama hanya untuk memandang ke arahku. Tatapan kosong dan tatapan kesedihan yang terpancar dari beberapa pasang mata mereka itu seakan-akan sebuah tatapan untuk perpisahan. Aku semakin bingung dengan sikap petani-petani itu. Aku hanya diam dan menunggu waktu untuk mendapatkan sebuah jawaban.

Kepergian petani-petani itu menyisakan kebingungan bagiku. Langkah petani-petani itu tak lagi bersemangat. Kian lesu seperti kehilangan arah tujuan pulang ke rumah.

***

Suatu pagi aku dikejutkan dengan kedatangan petani-petani itu secara tiba-tiba. Burung-burung kecil yang memutariku seperti ketakutan mendengar suara jejak langkah kaki yang tergesa-gesa. Langkah kaki manusia yang seperti hendak memangsa. Pagi ini, burung-burung kecil tak mau berlama-lama berada di sekitarku. Burung-burung kecil itu pergi begitu saja. Kulihat dari kejauhan mereka membawa beberapa alat seperti hendak akan memanenku. “Tunggu! Ini belum saatnya!” teriakku mencegah. Sudah kubilang suaraku tak dapat didengar. Manusia tak mengerti bahasaku.

Benar apa yang kuduga, petani-petani itu tengah mencabut tubuhku dengan paksa. Tanpa rasa kasih sayang lagi seperti dahulu. Seperti sebuah amarah yang salah alamat. Rasa kekecewaan, kekesalan, dan amarah itu kembali terpancar dari wajah petani-petani itu. Kali ini tak segan-segan akulah yang menjadi sasaran amarah mereka. Teriakan-teriakan yang aku lakukan seperti sebuah angin lalu. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang mengerti. Semua seperti tak terjadi apa-apa. Mereka mungkin berpikir aku hanyalah tanaman padi yang tak berdaya dan tak dapat melawan. Padahal, sekuat tenaga aku melawan dan berteriak sekencang-kencangnya. “Hentikan! Ini belum saatnya untuk panen,” teriakku sekencang-kencangnya. Sekali lagi tak ada yang mendengar.

Perlahan-lahan tak ada lagi tubuhku yang tersisa tertancap di tanah ini. Semua telah dicabut dengan paksa oleh petani-petani itu. Saat ini, aku bagaikan berada di medan perang. Pertempuran tanpa perlawanan yang berarti. Hanya teriakan yang tak terdengar. Isak tangis dariku tak terdengar oleh satu pun di antara mereka.

Mulut komat-kamit terlihat dari petani-petani itu. Aku tahu petani-petani itu marah. “Tapi, apa dosaku?” tanyaku penuh keheranan.

Kepergian mereka itu kini menyisakan tanah yang kosong. Tak ada lagi tubuh-tubuhku tersisa di sana. Kini, aku pun pergi dibawa oleh mereka.

Beberapa hari kemudian, datang sekelompok manusia membawa mesin-mesin untuk mengeruk tanah yang kosong itu. Mengeruk bagai sebuah adonan kue. Berhari-hari lamanya.

Bebatuan diturunkan dari beberapa truk. Menumpuk di suatu tempat. Tak lama terhampar di tanah yang kosong itu. Buldoser tiba, siap untuk meratakan semuanya. Kini, pemandangan menjadi berbeda. Tak ada lagi pemandangan hijau. Tak ada lagi kicauan burung-burung kecil yang menari-nari di angkasa. Tak ada lagi embun pagi yang membasahi. Terjawab sudah semua pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya. Jawaban yang tak ingin aku dengar. Cukup menyesakkan.

Kini, aku hanya dapat bernyanyi, “Dahulu pagi hari dihiasi embun pagi, pagi hari dihiasi tanaman hijau melambai-lambai, pagi hari dihiasi kicauan burung-burung kecil sambil menari-nari di angkasa. Kini, pagi hari dihiasi bebatuan, pagi hari dihiasi buldoser, pagi hari dihiasi pekerja-pekerja membangun istana.” Sungguh nyanyian yang memilukan. (*)
.
.
Bandung, 13 Mei 2011
Arlin Widya Safitri lahir di Bandung, belajar di jurusan Ilmu Sejarah Fasa Unpad. Tinggal di Bandung dan bergiat di Komunitas Sastra Langkah dan Majelis Sastra Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar