Rabu, 24 April 2013

[Review] 9 Summers 10 Autumns



Judul buku: 9 Summers 10 Autumns
Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Februari 2011
Tebal: 224 halaman
ISBN: 978-979-22-6766-2




Meraih Mimpi dari Kota Apel ke The Big Apple
Yeayy! Besok mulai tanggal 25 April 2013 serentak film 9 Summers 10 Autumns tayang di bioskop di berbagai kota di Indonesia. Senangnya, akhirnya film yang ditunggu-tunggu akhirnya tayang juga. Sebelum menonton yuk baca novelnya atau mungkin baca ulang novelnya. Ada cerita sedikit mengenai novelnya. Sekitar bulan Februari kemarin, ada acara di Klub Buku Bandung yang membahas soal novel 9 Summers 10 Autumns ini yang berlokasi di Potluck Kitchen. Singkat cerita, aku mendaftarkan seorang sahabatku datang ke acara tersebut. Pas acara justru aku yang berhalangan hadir di acara tersebut. Jadi, sahabatku yang datang ke acara itu sendirian. Baik hatinya sahabatku itu malah memberikan oleh-oleh buatku novel 9 Summers 10 Autumns itu. Katanya aku menang. Alhamdulillah dapet tanda tangan penulisnya juga dengan kalimat penyemangat: “Berlayar. Terus Berlayar” dari penulisnya.
            
Inilah hasil bacaanku tentang novel 9 Summers 10 Autumns. Meski sudah terbit dua tahun yang lalu (2011), tak ada salahnya kan membaca sekarang ini. Bagiku tak ada kata terlambat untuk membaca buku. Dan kebetulan menyambut filmnya akan tayang serentak mulai besok jadi tak ada salahnya membaca novelnya dulu.
            
Bapakku, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Dia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP. Sementara ibuku, tidak bisa menyelesaikan sekolahnya di SD. Dia cermin kesederhanaan yang sempurna. Empat saudara perempuanku adalah empat pilar kokoh. Di tengah kesulitan, kami hanya bisa bermain dengan buku pelajaran dan mencari tambahan uang dengan berjualan pada saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar sayur.
            
Ketika bapak menginginkan aku menggantikannya mencari nafkah sebagai sopir angkot yang kemudian aku malah diterima di IPB. Bapak memarahi ibu habis-habian. Dibuktikan semangat keras dan akhirnya lulus dengan nilai terbaik di IPB. Setelah lulus kuliah bekerja di Jakarta dan bisa membantu mengirimkan uang untuk keluargaku di desa. Berkat kerja keras dan ketekunanku bekerja akhirnya aku direkomendasikan salah seorang teman bekerja di New York.
            
Terbanglah aku ke New York. New York City bukan impian masa kecilku, bukan keinginan gilaku. New York City bukan keinginan yang muncul dari mimpi dan dari rumah mungilku. New York City adalah buah kerja keras, keprihatinan dan kejujuran. New York City adalah buah “kehangatan” rumah kecil kami. Dan, dari jalanan di New York City ini, aku berani menelusuri masa kecilku kembali.
            
Setelah melewati 9 Summers 10 Autumns aku merindukan desa kecilku, rumahku dan keluargaku. Dua bulan setelah aku mengirimkan farewell e-mail, aku meninggalkan New York. Sebuah surat aku temukan di salah satu buku yang akan kubawa pulang. Sebuah surat yang belum sempat aku berikan kepada bocah kecil itu. Ia ada di hatiku, pikirku. Biar kusimpan secarik kertas ini untukku, untuknya.
            
Aku tak bisa memilih masa kecilku.
            
Masa kecilku mungkin tak seindah dan selepas mereka, tapi kehangatan di bawah rumah kecilku telah menyelamatkanku. Jalan hidupku mungkin akan berbeda, I would have been so lost, tanpa kesederhanaan Ibu, tanpa perjuangan keras Bapak, tanpa cinta yang hangat dari saudara-saudaraku. Memori masa kecil membuat aku bijak dalam mengenal diriku sekarang.
             
Kalimat paling ajaib di hampir bagian akhir novel ini. “Melihat air mata Ibu jatuh saat itu, I told my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much. Dari sinilah aku mulai melihat hidup ini tak hijau lagi.”
            
Itulah hasil bacaanku mengenai novel 9 Summers 10 Autumns ini. Membacanya akan terasa mata berkaca-kaca. Tapi, aku nggak setuju kalau novel ini hanya menjual kesedihan. Bukan seperti itu, justru banyak nilai-nilai inspiratif sebagai penyemangat hidup. Melihat hidup lebih optimis lagi. Ada makna yang lebih dari hanya sekadar menjual kesedihan. Mungkin bagi sebagian orang ini bukan karya sastra melainkan autobiografi penulisnya, memang mungkin seperti itu. Tak terlalu penting mengenai hal itu, yang terutama pesan yang hendak disampaikan penulisnya tersampaikan dengan baik pada pembacanya. Dan itu rasanya lebih dari cukup.
             
Bagi yang tak sabar menonton filmnya, tenang ya karena besok sudah mulai filmnya tayang di bioskop. Selamat menonton adopsi dari novelnya yang tak kalah bagusnya. Semoga filmnya juga mengulang kesuksesan novelnya.

5 komentar:

  1. bacalah dan visualkan novelnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Okesip, mungkin gaya bahasanya ya agak baku :D
      Disamping itu saya suka kutipan kalimat-kalimat bagus dan "jleb" di novel yang saya baca. Terima kasih sudah mampir...

      Hapus
  2. wah jadi pengen nonton filmnya. walau biasanya fim ngga sebagus novelnya sih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir balik mbak :D *salam kenal
      Iya, betul mbak kadang film nggak sebagus novelnya. Moga aja filmnya bisa mengulang kesuksesan novelnya :)

      Hapus
  3. Kisah di buku ini bikin ngiler, hehe... Baca ini long time ago, nyampe sekarang lupa2 inget. Ada filmnya jg belum nonton :D
    Seutu banget sama ini:

    Kalimat paling ajaib di hampir bagian akhir novel ini. “Melihat air mata Ibu jatuh saat itu, I told my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much. Dari sinilah aku mulai melihat hidup ini tak hijau lagi.”

    BalasHapus